Oleh: Pnt. Drs. Rusli Manorek
Koentjaraningrat,
seorang peletak dasar ilmu antropologi di Indonesia memberi batasan tentang
(ke)-budaya-(an) sebagai “...keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar”.[1] Lebih lanjut, Koentjaraningrat menjelaskan
bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) ... suatu kompleks dari ide,
gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya; (2) ... sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3)
... sebagai benda-benda hasil karya manusia[2]. Selanjutnya Nilai Budaya merupakan konsep kehidupan dalam alam pikiran
sebagian besar warga dari suatu masyarakat tentang apa yang dianggap bernilai
bagi mereka, urgen dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai penuntun dan
orientasi bagi kehidupan warga masyarakat bersangkutan.
Potret kehidupan sosial di Indonesia dewasa ini tidak
berlebihan kami katakan kini sedang mengara pada terjadinya dis-integrasi
sosial. Dimaksud dengan dis-integrasi sosial dapat diartikan suatu kondisi
sebagian warga masyarakat yang mulai mengabaikan dan meninggalkan nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia yang sifatnya keluhuran, dan cenderung mengadopsi
nilai-nilai budaya asing yang tidak sejalan dengan tata nilai budaya masyarakat
Indonesia. Maraknya terjadi konflik sosial pada sebagian masyarakat yang
terkadang hanya dipicu oleh hal sepele tetapi menyebar luas seperti melakukan
tindak-tindak anarkis, melakukan pengrusakan beragam sarana infrastruktur di
masyarakat, pembakaran bangunan-bangunan rumah penduduk, pengrusakan
sarana-sarana tempat peribadatan, melakukan tindak-tindak kekerasan;
pembunuhan, pemerkosaan, pecurian, pemalakkan, pembakaran kendaran-kendaraan
bermotor, dll adalah cerminan suatu kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang
kian menyimpang dari karakter bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat
yang; mengedepankan kesantunan, agamais/religius, sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, saling menghormati dan menghargai,
saling tolong menolong, pekerja keras dan lain-lain.
Mencermati fenomena sosial seperti yang digambarkan di atas,
apabila prilaku sosial masyarakat kian menguat dengan mengabaikan nilai-nilai
keluhuran dipastikan itu menjadi ancaman sangat serius terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik sosial apakah itu sifatnya kompleks
pengaruhnya ataupun tidak, semuanya perlu diminimalisir agar tidak tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Beragam informasi media massa cetak dan elektronik
belakangan ini dengan lantang banyak mengungkap kian tumbuh subur terjadinya
konflik-konflik sosial beberapa contoh kasus antara lain; konflik sosial di
Ambon, Poso, Sampit, Sambas, Sigi, dan masih banyak lagi konflik sosial lainnya
yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah NKRI, termasuk di Sulawesi Utara
seperti masalah tambang di Picuan dan daerah Dumoga ataupun kejadian lainya.
Selain itu berkembangnya prilaku-prilaku premanisme ataupun adanya
tindakan-tindakan kekerasan dari orang-orang tertentu dan ada yang bermuara
pada takwuran antara kelompok pemuda bahkan takwuran antara kampung, akibatnya
terjadi korban dan kerugian serta ketidak nyamanan dalam berkehidupan.
Terjadinya beberapa konflik sosial
di masyarakat dan upaya-upaya penanggulangannya sudah banyak terangkat ke
permukaan karena sering menjadi materi diskusi ataupun seminar, lokakarya yang
dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh institusi pemerintah, swasta dan
lembaga maupun Tokoh Agama. Sehubungan dengan terjadinya konflik sosial
dimasyarakat, maka menurut hemat kami salah satu langkah strategis yang
operasional untuk dilakukan adalah; deteksi sedini mungkin simpul-simpul atau
daerah yang rentan pemicu terjadinya konflik sosial di masyarakat. Arena sosial
masyarakat seperti; terminal-terminal, pasar-pasar tradisional, pelabuhan,
bandara, termasuk kompleks persekolahan, asrama, tempat-tempat pemondokan,
lokasi-lokasi pertambangan, tapal-tapal batas, dan lain-lain merupakan simpul-simpul
yang sangat rentan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik sosial di
masyarakat. Pendekatan kebudayaan perlu dalam melihat kondisi social, namun hal
itu belum cukup tanpa peran lembaga keagamaan untuk membekali pembentukan
karakter sedini mungkin, mulai dari lingkungan keluarga hingga pada masyarakat.
Karakter dan Iman Kristiani
Menyikapi
kehidupan social dewasa ini terutama dikalangan generasi muda, maka peran
lembaga keagamaan sangat penting, terlebih Gereja Injili Minahasa (GMIM) yang wilayah
jemaat yang luas dengan warga jemaat yang begitu banyak. Beberapa letak
wilayahnya juga merupakan bagian lokasi-lokasi kejadian konflik social termasuk
takwuran, premanisme, pemalakan dan didalamnya termasuk warga Kristen...Apakah
ini bagian karakter keKristenan?...
Berbicara Karakter perlu memahami tentang “karakter bangsa”, pemerintah telah
merumuskan pengertian tentang karakter bangsa serta mendesain konfigurasi
nilai, serta tahapan pembentukan karakter, sebagaimana dapat dibaca dalam (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter,
2010). Dalam dokumen
Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010; yang dimaksud dengan
pendidikan karakter mencakup:
Ø pendidikan nilai,
Ø pendidikan budi pekerti,
Ø pendidikan moral,
Ø pendidikan watak
Tujuannya adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, sebagaimana
pengertian nilai berikut ini:
- Nilai Religius tercermin dalam sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta
hidup rukun dengan pemeluk agama lain;
-
Nilai toleransi
tercermin dalam sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (NKRI-persatuan dan
kesatua);
- Nilai kerja keras tercermin dalam perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;
-
Nilai kreatif
tercermin dalam berpikir dan
melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari apa yang telah
dimiliki;
- Nilai mandiri tercermin dalam sikap dan prilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;
-
Nilai demokratis
tercermin dalam cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain;
-
Nilai semangat kebangsaan;
-
Nilai cinta tanah air;
- Nilai cinta damai tercermin dalam sikap, perkataan dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya;
- Nilai peduli sosial tercermin dalam sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan;
-
Nilai tanggung-jawab tercermin dalam sikap dan perilaku seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Masih dalam ingatan kolektip di kalangan masyarakat Minahasa
ketika dalam Pertemuan-pertemuan hayatan syukuran, maka dalam kondisi ini di
jadikan momentum pembinaan. Apabila ada sikap-sikap masyarakat yang didapati
melakukan tindakan yang tidak bersesuai dengan tata nilai, adat istiadat, maka
dilakukan tegur sapa dan itu ditanggapi sebagai media pembinaan. Hal seperti
ini dalam beberapa dekade terakhir ini, hal menegur dan bertutur sapa cenderung
mulai sudah memudar dijumpai di masyarakat.
Kaitan dengan pembentukan karakter Kristiani terlebih melihat
generasi muda yang hidup di era globalisasi dewasa ini, kian diperhadapkan dengan tantangan
mempertahankan tata nilai budaya kita yang menjunjung tinggi norma-norma agama,
saling menghargai, tolong menolong “mapalus”, hidup dalam kebersamaan/kekeluargaan
dengan semboyan “Torang Samua Basudara” yang bermuara pada “Hukum Kasih” dalam
kekristenan.
Kitab Amsal merupakan salah satu
Kitab yang sarat dengan ajaran-ajaran dalam pendidikan karakter kekritenan,
berisi kata-kata hikmat untuk penguatan karakter umat sebagai ciptaan Tuhan.
Pendidikan karakter kristiani sangat baik bila
mendalami kitab amsal dimulai dengan ‘Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan”
(psl.1:7). Ayat ini bagian pengakuan Iman Mengenal sesungguhnya siapakah Allah
itu dan takut akan Tuhan mengartikan menjalankan perintah-Nya, merupakan
pondasi terbangunnya manusia umat Ciptaan Tuhan berhikmat dan berpengetahuan.
Selanjutnya Amsal Salomo mulai
mengupas pendidikan dalam kehidupan keluarga “ Hai anakku, dengarkanlah didikan
ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu”. Ayat ini bagian nasehat
terhadap anak-anak yang di bentuk karakternya menjadi anak yang dengar-dengaran
pada orang tua. Seorang ayah ataupun ibu tidak mungkin mendidik ataupun
mengajar pada anaknya pada jalan-jalan
yang tidak benar, misalnya merampok, membunuh, memperkosah dan lain sebagainya.
Anak adalah buah hati orang tua yang sejak lahir dibuai, dijaga, dibina dan
dibimbing melalui suatu proses hingga berada pada bingkai karakter
ke-Kristenan.
Pada dasarnya Firman Tuhan mengajar tentang
hal yang baik dan hal yang buruk yang didalamnya merupakan sifat dan tingkah
laku kita, juga bagaimana hidup sebagai mahluk sosial apalagi dikalangan orang
Minahasa punya pandangan hidup dalam kebersamaan, seperti “Mapalus” -“baku-baku
bantu” dalam mengolah kebun atau sesuatu yang memerlukan kerja sama termasuk
orang yang kena bencana. “Maesa-esaan” bersatu padu, bahu-membahu dalam usaha
mencapai tujuan. “Maleo-leosan” saling memelihara suasana kedamaian, keakraban
serta memaafkan. “Matombol-tombolan” saling menopang, membantu bagi yang kurang
mampu.
Nilai Budaya dalam kebersamaan orang Minahasa
sangat kuat dalam ajaran kekristenan dalam Kitab Amsal:, yakni “ janganlah
merampas orang lemah, karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang yang
berkesusahan di pintu gerbang “ (psl.22:22). Ayat ini dapat diartikan,
bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen terhadap orang yang lemah ataupun
orang yang berkesusahan, tentunya nilai-nilai budaya di atas adalah bagian dari
hukum kasih yang kita terapkan.
Karena itu sebagai umat Kristen
diajak agar kita senantiasa melihat diri kita sebagai manusia mahluk ciptaan
Tuhan yang termulia dibentuk dan diciptakan menyerupai Allah. Mari kita
mengintropeksi dan melihat diri sendiri, siapakah kita dihadapan Allah, sudakah
menunjukan sikap kasih. Amsal Salomo mengingatkan kita: “Seperti air
mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu”
(Psl.27:19).
Budaya “Instant”
Dewasa ini ada satu permasalahan
yang dihadapi masyarakat di Indonesia selain beberapa permasalahan yang sudah
kami kemukakan di atas, yakni kian
terperangkapnya masyarakat lebih khusus generasi muda pada budaya ‘instant’.
Dimaksud dengan budaya ‘instant’ kami artikan sebagai satu kebiasaan masyarakat
yang lebih berorientasi pada hal-hal
siap saji, copy paste, cepat
mendapatkan uang tanpa berpeluh dan bekerja keras, dan lain-lain. Budaya ‘instant’
ini semakin meracuni generasi muda sejak mereka dalam buaian ibunya. Berbagai
bentuk peralatan dan permainan yang menggiring anak-anak kita hanya sebagai
pengguna saja, tanpa berpikir bagaimana menciptakannya. Budaya masyarakat
seperti ini telah merubah menjadi generasi pengguna yang konsumtif. Ada sesuatu
yang esensial hilang pada kondisi sosial masyarakat seperti ini, yakni daya
kreasi menciptakan dan sistem daur ulang. Dalam alam pikiran generasi muda kita
tidak pernah terbersit bagaimana caranya membuat atau menciptakan. Gaya hidup
hidup anak-anak modern diadopsi mentah-mentah, tanpa ingin mengembangkan daya
mampu diri. Terperangkapnya generasi muda khususnya dalam budaya ‘instant’
sudah tentu menjadi tantangan bersama, dalam rangka membentuknya sesuai dengan
norma dan tata nilai budaya bangsa, yang dikenal sebagai masyarakat yang
agamais/religious, lebih mengedepankan hidup yang berhikmat dan
berpengatahuan. Budaya ‘intant’ intinya akan membawa seseorang
pada hal-hal yang serba cepat. Dalam beberapa kasus sosial, fakta sosial mudah
terlihat di masyarakat mereka-mereka yang terperangkap dalam budaya ‘instant’,
mereka tidak mau bersusah paya untuk bekerja, dan belajar tetapi memiliki
keinginan untuk memiliki sesuatu dengan cepat. Beberapa masalah sosial yang
masuk sebagai patologi sosial (penyakit-penyakit sosial masyarakat) seperti;
berkeinginan memiliki sesuatu tetapi tidak memiliki uang, akhirnya melibatkan
diri pada tindakan-tindakan seperti mencuri, menjadi pelacur bagi wanita,
melakukan pemalakkan, dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Hal-hal ini
lebih disebabkan karena dorongan pola hidup yang konsumtif tetapi tidak
diimbangi dengan daya juang dan kemampuan financial yang dimiliki.
Sebagai umat ciptaan Tuhan, alkitab
mengajarkan untuk kita hidup berhikmat dan berpengetahuan. Orang berhikmat dan
berpengatahuan, sudah tentu tidak berkeinginan terperangkap pada pola hidup
budaya ‘instant’. Hal ini demikian karena, dengan hikmat dan pengatahuan sudah tentu akan selalu mengedepankan corak
hidup yang bekerja dan berkarya yang terbangun dengan pondasi kuat melalui
beragam pengajaran-pengajaran kristiani, serta saratnya nilai-nilai keluhuran
budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial kita semua
dimanapun kita hidup dan bermasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar