Rabu, 05 Februari 2014

NILAI BUDAYA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI


Oleh: Pnt. Drs. Rusli Manorek


Koentjaraningrat, seorang peletak dasar ilmu antropologi di Indonesia memberi batasan tentang (ke)-budaya-(an) sebagai “...keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.[1]  Lebih lanjut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ada tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) ... suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya; (2) ... sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) ... sebagai benda-benda hasil karya manusia[2]. Selanjutnya Nilai Budaya merupakan konsep kehidupan dalam alam pikiran sebagian besar warga dari suatu masyarakat tentang apa yang dianggap bernilai bagi mereka, urgen dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan warga masyarakat bersangkutan.
Potret kehidupan sosial di Indonesia dewasa ini tidak berlebihan kami katakan kini sedang mengara pada terjadinya dis-integrasi sosial. Dimaksud dengan dis-integrasi sosial dapat diartikan suatu kondisi sebagian warga masyarakat yang mulai mengabaikan dan meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang sifatnya keluhuran, dan cenderung mengadopsi nilai-nilai budaya asing yang tidak sejalan dengan tata nilai budaya masyarakat Indonesia. Maraknya terjadi konflik sosial pada sebagian masyarakat yang terkadang hanya dipicu oleh hal sepele tetapi menyebar luas seperti melakukan tindak-tindak anarkis, melakukan pengrusakan beragam sarana infrastruktur di masyarakat, pembakaran bangunan-bangunan rumah penduduk, pengrusakan sarana-sarana tempat peribadatan, melakukan tindak-tindak kekerasan; pembunuhan, pemerkosaan, pecurian, pemalakkan, pembakaran kendaran-kendaraan bermotor, dll adalah cerminan suatu kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang kian menyimpang dari karakter bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang; mengedepankan kesantunan, agamais/religius, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kegotong-royongan, saling menghormati dan menghargai, saling tolong menolong, pekerja keras dan lain-lain.
Mencermati fenomena sosial seperti yang digambarkan di atas, apabila prilaku sosial masyarakat kian menguat dengan mengabaikan nilai-nilai keluhuran dipastikan itu menjadi ancaman sangat serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik-konflik sosial apakah itu sifatnya kompleks pengaruhnya ataupun tidak, semuanya perlu diminimalisir agar tidak tumbuh dan berkembang di Indonesia. Beragam informasi media massa cetak dan elektronik belakangan ini dengan lantang banyak mengungkap kian tumbuh subur terjadinya konflik-konflik sosial beberapa contoh kasus antara lain; konflik sosial di Ambon, Poso, Sampit, Sambas, Sigi, dan masih banyak lagi konflik sosial lainnya yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah NKRI, termasuk di Sulawesi Utara seperti masalah tambang di Picuan dan daerah Dumoga ataupun kejadian lainya. Selain itu berkembangnya prilaku-prilaku premanisme ataupun adanya tindakan-tindakan kekerasan dari orang-orang tertentu dan ada yang bermuara pada takwuran antara kelompok pemuda bahkan takwuran antara kampung, akibatnya terjadi korban dan kerugian serta ketidak nyamanan dalam berkehidupan.
            Terjadinya beberapa konflik sosial di masyarakat dan upaya-upaya penanggulangannya sudah banyak terangkat ke permukaan karena sering menjadi materi diskusi ataupun seminar, lokakarya yang dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh institusi pemerintah, swasta dan lembaga maupun Tokoh Agama. Sehubungan dengan terjadinya konflik sosial dimasyarakat, maka menurut hemat kami salah satu langkah strategis yang operasional untuk dilakukan adalah; deteksi sedini mungkin simpul-simpul atau daerah yang rentan pemicu terjadinya konflik sosial di masyarakat. Arena sosial masyarakat seperti; terminal-terminal, pasar-pasar tradisional, pelabuhan, bandara, termasuk kompleks persekolahan, asrama, tempat-tempat pemondokan, lokasi-lokasi pertambangan, tapal-tapal batas, dan lain-lain merupakan simpul-simpul yang sangat rentan dapat menjadi pemicu terjadinya konflik sosial di masyarakat. Pendekatan kebudayaan perlu dalam melihat kondisi social, namun hal itu belum cukup tanpa peran lembaga keagamaan untuk membekali pembentukan karakter sedini mungkin, mulai dari lingkungan keluarga hingga pada masyarakat.

Karakter dan Iman Kristiani
Menyikapi kehidupan social dewasa ini terutama dikalangan generasi muda, maka peran lembaga keagamaan sangat penting, terlebih Gereja Injili Minahasa (GMIM) yang wilayah jemaat yang luas dengan warga jemaat yang begitu banyak. Beberapa letak wilayahnya juga merupakan bagian lokasi-lokasi kejadian konflik social termasuk takwuran, premanisme, pemalakan dan didalamnya termasuk warga Kristen...Apakah ini bagian karakter keKristenan?...
Berbicara Karakter perlu memahami tentang “karakter bangsa”, pemerintah telah merumuskan pengertian tentang karakter bangsa serta mendesain konfigurasi nilai, serta tahapan pembentukan karakter, sebagaimana dapat dibaca dalam (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010). Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010; yang dimaksud dengan pendidikan karakter mencakup:
Ø  pendidikan nilai,
Ø  pendidikan budi pekerti,
Ø  pendidikan moral,
Ø  pendidikan watak
Tujuannya adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, sebagaimana pengertian nilai berikut ini:

-  Nilai Religius tercermin dalam sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
   ajaran  agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta  
   hidup rukun  dengan pemeluk agama lain;
-       Nilai toleransi tercermin dalam sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (NKRI-persatuan dan kesatua);
-       Nilai kerja keras tercermin dalam perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;
-       Nilai kreatif tercermin dalam berpikir dan melakukan sesuatu untuk  menghasilkan cara atau hasil baru dari  apa yang telah dimiliki;
-       Nilai mandiri tercermin dalam sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;
-       Nilai demokratis tercermin dalam cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama  hak dan kewajiban dirinya dan orang lain;
-       Nilai semangat kebangsaan;
-       Nilai cinta tanah air;
-       Nilai cinta damai tercermin dalam sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya;
-       Nilai peduli sosial tercermin dalam sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan;
-       Nilai tanggung-jawab tercermin dalam sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Masih dalam ingatan kolektip di kalangan masyarakat Minahasa ketika dalam Pertemuan-pertemuan hayatan syukuran, maka dalam kondisi ini di jadikan momentum pembinaan. Apabila ada sikap-sikap masyarakat yang didapati melakukan tindakan yang tidak bersesuai dengan tata nilai, adat istiadat, maka dilakukan tegur sapa dan itu ditanggapi sebagai media pembinaan. Hal seperti ini dalam beberapa dekade terakhir ini, hal menegur dan bertutur sapa cenderung mulai sudah memudar dijumpai di masyarakat. 
Kaitan dengan pembentukan karakter Kristiani terlebih melihat generasi muda yang hidup di era globalisasi dewasa ini,  kian diperhadapkan dengan tantangan mempertahankan tata nilai budaya kita yang menjunjung tinggi norma-norma agama, saling menghargai, tolong menolong “mapalus”, hidup dalam kebersamaan/kekeluargaan dengan semboyan “Torang Samua Basudara” yang bermuara pada “Hukum Kasih” dalam kekristenan.
Kitab Amsal merupakan salah satu Kitab yang sarat dengan ajaran-ajaran dalam pendidikan karakter kekritenan, berisi kata-kata hikmat untuk penguatan karakter umat sebagai ciptaan Tuhan.
 Pendidikan karakter kristiani sangat baik bila mendalami kitab amsal dimulai dengan ‘Takut akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan” (psl.1:7). Ayat ini bagian pengakuan Iman Mengenal sesungguhnya siapakah Allah itu dan takut akan Tuhan mengartikan menjalankan perintah-Nya, merupakan pondasi terbangunnya manusia umat Ciptaan Tuhan berhikmat dan berpengetahuan.
Selanjutnya Amsal Salomo mulai mengupas pendidikan dalam kehidupan keluarga “ Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu”. Ayat ini bagian nasehat terhadap anak-anak yang di bentuk karakternya menjadi anak yang dengar-dengaran pada orang tua. Seorang ayah ataupun ibu tidak mungkin mendidik ataupun mengajar pada   anaknya pada jalan-jalan yang tidak benar, misalnya merampok, membunuh, memperkosah dan lain sebagainya. Anak adalah buah hati orang tua yang sejak lahir dibuai, dijaga, dibina dan dibimbing melalui suatu proses hingga berada pada bingkai karakter ke-Kristenan.
 Pada dasarnya Firman Tuhan mengajar tentang hal yang baik dan hal yang buruk yang didalamnya merupakan sifat dan tingkah laku kita, juga bagaimana hidup sebagai mahluk sosial apalagi dikalangan orang Minahasa punya pandangan hidup dalam kebersamaan, seperti “Mapalus” -“baku-baku bantu” dalam mengolah kebun atau sesuatu yang memerlukan kerja sama termasuk orang yang kena bencana. “Maesa-esaan” bersatu padu, bahu-membahu dalam usaha mencapai tujuan. “Maleo-leosan” saling memelihara suasana kedamaian, keakraban serta memaafkan. “Matombol-tombolan” saling menopang, membantu bagi yang kurang mampu.
 Nilai Budaya dalam kebersamaan orang Minahasa sangat kuat dalam ajaran kekristenan dalam Kitab Amsal:, yakni “ janganlah merampas orang lemah, karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang yang berkesusahan di pintu gerbang “ (psl.22:22). Ayat ini dapat diartikan, bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen terhadap orang yang lemah ataupun orang yang berkesusahan, tentunya nilai-nilai budaya di atas adalah bagian dari hukum kasih yang kita terapkan.
Karena itu sebagai umat Kristen diajak agar kita senantiasa melihat diri kita sebagai manusia mahluk ciptaan Tuhan yang termulia dibentuk dan diciptakan menyerupai Allah. Mari kita mengintropeksi dan melihat diri sendiri, siapakah kita dihadapan Allah, sudakah menunjukan sikap kasih. Amsal Salomo mengingatkan kita: “Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu” (Psl.27:19).



Budaya “Instant”
            Dewasa ini ada satu permasalahan yang dihadapi masyarakat di Indonesia selain beberapa permasalahan yang sudah kami kemukakan di atas,  yakni kian terperangkapnya masyarakat lebih khusus generasi muda pada budaya ‘instant’. Dimaksud dengan budaya ‘instant’ kami artikan sebagai satu kebiasaan masyarakat yang lebih berorientasi pada hal-hal  siap saji, copy paste,  cepat mendapatkan uang tanpa berpeluh dan bekerja keras, dan lain-lain. Budaya ‘instant’ ini semakin meracuni generasi muda sejak mereka dalam buaian ibunya. Berbagai bentuk peralatan dan permainan yang menggiring anak-anak kita hanya sebagai pengguna saja, tanpa berpikir bagaimana menciptakannya. Budaya masyarakat seperti ini telah merubah menjadi generasi pengguna yang konsumtif. Ada sesuatu yang esensial hilang pada kondisi sosial masyarakat seperti ini, yakni daya kreasi menciptakan dan sistem daur ulang. Dalam alam pikiran generasi muda kita tidak pernah terbersit bagaimana caranya membuat atau menciptakan. Gaya hidup hidup anak-anak modern diadopsi mentah-mentah, tanpa ingin mengembangkan daya mampu diri. Terperangkapnya generasi muda khususnya dalam budaya ‘instant’ sudah tentu menjadi tantangan bersama, dalam rangka membentuknya sesuai dengan norma dan tata nilai budaya bangsa, yang dikenal sebagai masyarakat yang agamais/religious, lebih mengedepankan hidup yang berhikmat dan berpengatahuan.   Budaya ‘intant’ intinya akan membawa seseorang pada hal-hal yang serba cepat. Dalam beberapa kasus sosial, fakta sosial mudah terlihat di masyarakat mereka-mereka yang terperangkap dalam budaya ‘instant’, mereka tidak mau bersusah paya untuk bekerja, dan belajar tetapi memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu dengan cepat. Beberapa masalah sosial yang masuk sebagai patologi sosial (penyakit-penyakit sosial masyarakat) seperti; berkeinginan memiliki sesuatu tetapi tidak memiliki uang, akhirnya melibatkan diri pada tindakan-tindakan seperti mencuri, menjadi pelacur bagi wanita, melakukan pemalakkan, dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Hal-hal ini lebih disebabkan karena dorongan pola hidup yang konsumtif tetapi tidak diimbangi dengan daya juang dan kemampuan financial yang dimiliki.
            Sebagai umat ciptaan Tuhan, alkitab mengajarkan untuk kita hidup berhikmat dan berpengetahuan. Orang berhikmat dan berpengatahuan, sudah tentu tidak berkeinginan terperangkap pada pola hidup budaya ‘instant’. Hal ini demikian karena, dengan hikmat dan pengatahuan  sudah tentu akan selalu mengedepankan corak hidup yang bekerja dan berkarya yang terbangun dengan pondasi kuat melalui beragam pengajaran-pengajaran kristiani, serta saratnya nilai-nilai keluhuran budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial kita semua dimanapun kita hidup dan bermasyarakat.


[1] Artikel majalah dodoku

[2]Penulis Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado/Pelsus Klm 10 Jemaat GMIM Diaspora Watutmou III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar